HANTU DRAMA oleh Mahendra, Language theatre

HANTU DRAMA DALAM PARADE TEATER NUSANTARA UKM SENI NANGGALA UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
Oleh: mahendra
TEATER MADURA mungkin masih sebuah konsep. sebuah pencarian tanpa batas terhadap sebuah capaian pengucapan teater yang khas. dengan terus melakukan dialog terus-menerus dengan perubahan yang terjadi di seputar dirinya dan keterbatasan sokongan materi. teater Madura terus di produksi. dengan seluruh problem yang di kandung di dalamnya, teater madura seperti dua jalan di sisi pengetahuan; jalan ke dalam-jalan ke luar identitas.  sebab teater masih seperti pencarian akan keterlepasan manusia dari kungkungan kecemasan-kecemasan sosial-budaya yang melingkupi Madura sebagai sebuah kerja kebudayaan. Dan dalam pemikiran serupa di atas saya pikir ‘parade teater’ penting adanya. Sebagai proses keluar-kedalam, ruang kmunikasi (silaturrahmi budaya), untuk menemukan spirit dan model pengucapan yang baru. Dan Teater Nanggala mencoba itu.
Akan tetapi teater Madura –menurut saya, tidak sepenuhnya seperti teater di daerah lain- di besarkan oleh teater kampus. Teater Madura adalah sebuah teater yang di beri spirit tradisi kemaduraan yang gagah di belakangnya; local genus dan pesantren. Dua spirit ini masih jauh dari kampus, melainkan menyebar di kampung-kampung dan lembaga pesantren. Sehingga teater Madura juga lebih jelas warnanya di banyak tempat tersebut. Melihat kecendrungan perkembangan teater Madura yang bergerak di dua tradisi besar itu maka tidak salah jika teater Madura bercorak non-realisme (dengan sekian banyak gaya penyebutannya).
Sementara teater mutakhir Indonesia, sedang mencari format pengucapan teater yang tidak konvensional. Teater mutakhir Indonesia menoba di keluarkan dari metodologi, aturan-aturan dramaturgis, gagasan-gagasan universal, melakukan percampuran dengan genre kesenian yang lain. Tetapi juga tidak di kembalikan pada tradisinya (walaupun mulai menggejala teater yang menoleh lokalitas sebagai spirit penggarapannya). Justru teater Madura tetap eksistensial, dalam konsistensi model absurditas. Sehingga teater Madura mendapatkaan pengucapannya yang kuat, tubuhnya yang liat dan spiritnya yang total. Sebab teater adalah medan pencarian identitas (personal) sehingga teater menjadi sangat dekat dengan masyarakatnya (lingkungannya). Teater seperti di selamatkan oleh kekuatan local sebagai energy kretif. Sebab kemungkinan lokalitas memberikan peluang lebih luas terhadap kreator untuk melahirkan kebaruan-kebaruan (progresifitas). Ini juga yang saya pikir terjadi dalam ‘parade teater nusantara’ pada acara dies natalis Teater Nanggala kali ini. Justru hadirnya komunitas dari daerah lain yang ‘masih membawa lokalitasnya’ membawa kekuatan pengucapan yang lain. Seperti Kami Gieart dari palu, atau teater Batra dari riau, pertunjukan mereka seperti mendapatkan sepirit yang lain, di luar bentuk garapan. Tetapi Kami Gieart sungguh membuat teater menjadi simple (sederhana) dan minimalis, tetapi tetap membawa yang besar. Walaupun justru karena gagasan yang besar membuat mereka sedikit menjauh dari problem hidup mereka sendiri.
Lantas bagaimana seharusnya teater di produksi dalam tegangan identitas yang sedang terjadi? Satu sisi kita di minta mempertahankan tradisi, sementara di sisi lain desakan global memaksa kita, jika tidak kita akan di cap ‘terbelakang’ tidak tahu perkembangan. Tidak semudah membalikkan tangan, namun jika kita melihat kemungkinan tradisi, maka jawabannya saya pikir justru berada pada tegangan tersebut.  
REKONTRUKSI JALAN KELUAR DARI TEKS
panggung dengan seluruh dunia yang di hadirkan di dalamnya, tentunya terus melahirkan kemungkinan-kemungkinan. sisi-sisi gelap kemanusiaan, problem sosial- budaya masyarakat, tekhnik dan dramaturgi, manusia-manusia actor seperti album besar. Sebuah dokumentasi atas realitas kosmos dan mikro kosmos yang sedang bekerja. Dan penonton adalah bagian masayarakat yang sedang menonton dirinya, dalam rangka menggali kembali ingatan untuk membolak-balik kenangan. Kemudian diam-diam kita akan tertawa, menangis bahkan kadang sedih tiada terkira. Akan tetapi begiulah hidup di pertontonkan oleh teater.
Dalam kacamata teater sebagai ruang etalatif (tontonan), tentu kita berharap teater tidak hanya akan menjadi ruang katarsis saja. Bisa sedih bersama, bahagia bersama sudah cukup. Tetapi teater –seperti juga seni yang lain- bekerja sebagai mesin penggerak (sepakat dengan andy warholl), ia akan menggerakkan alam. Sebab teater adalah ritus.
Begitulah energy kratif itu bekerja, seharusnya begitupun teater bekerja. Ada sebuah upaya besar, untuk menghadirkan semangat menggerakkan. Tentu di butuhkan sebuah medan rekontruksi realitas kemudian. Agar seluruh peristiwa bisa menghadirkan sebuah peristiwa yang lain. Nah, peristiwa yang lain dalam kontek mesin penggerak, saya bayangkan sebuah perluasan paggung itu. Panggung menggerakkan masyarakat penonton untuk ‘terlibat’.
Pada posisi semacam ini, panggung teater seperti system pengetahuan. Siap di baca dan di interpretasi dari sudut mana saja, dengan satu harapan akan mencipta sebuah panggung ketiga. Ya kebaruan-kebaruan itu. Namun untuk sampai pada tahap tersebut kita harus membaca beberapa hal:
Pertama, Jika selama ini teater selalu hanya seputar mem-presentasi tokoh, maka dalam pertunjukan parade teater kali ini kita sedikit mendapatkan angin segar. Sebab ada upaya untuk kawan-kawan komunitas untuk keluar dari problem representasi itu. Terlepas dari banyak kebocoran di sana-sini. Namun teater menjadi lebih berwarna. Terlebih pertunjukan dari kawan-kawan daerah seperti riau misalnya. teater batra riau membawa naskah “lawan catur” karya kennets mawyer godzman, sebuah naskah yang seolah wajib bagi teaterawan. Naskah ini di hadirkan dengan seluruh disiplin yang sangat ketat. Tekhnik keaktoran, konvensi dramaturgi, set-artistik sebuah upaya merepresntasi teater yang konvensional. Namun ada upaya menghadirkan peristiwa tafsir lain pada opening (dengan menghadirkan siloet penari) dan menghadirkan papan catur yang besar hampir setengah panggung. Hadirnya papan catur raksasa ini tentu adalah upaya untuk keluar dari jeratan lawan catur yang sudah lazim. Kita seperti di bawa pada medan surealisme yunani, walaupun buka tutup dengan gaya geber (layar) pada teater tradisi. Walaupun saya tetap membayangkan batra seharusnya membawa lawan catur pada konteks budaya melayu tentu akan lebih fresh, misalnya dalam kontek pertentangan melayu daratan dan pesisir (minang).
Kedua, Teater Kaget al-Khairat pamekasan memberikan tawaran yang jelas bagaimana keluar dari teks naskah. sebab dalam kerja teater, naskah hanyalah rel, hanyalah jalan untuk sampai pada peristiwa kehidupan yang sesungguhnya. Yaitu apa yang di alami. Dan naskah adalah jebakan pertama.
Oleh karenanya dalam naskah yang sudah jadi maka perlu sebuah upaya rekontruksi. Menyusun ulang cerita, sehingga menjadi dekat dan akrab dengan dunianya. Begitulah kerja rekontruksi mejadi penting, jika selama ini naskah seperti penjara bagi peristiwa teater, maka rekontruksi membuat naskah menjadi longgar. Dan peristiwa bisa berkembang bahkan menjadi peristiwa lain sama sekali.
Menyusun ulang cerita “Matahari Di Sebuah Jalan Kecil” karya Arifin C Nur dengan memindah latar, tokoh, dan peristiwa menjadi potongan surelisme tentu bukan perkara gampang. Banyak terjadi kebocoran-kebocoran di sana-sini. Namun upaya untuk keluar dari Arifin C Nur yang di kenal sangat ketat dalam pemilihan setting, tokoh dan penceritaan di jungkir balikkan oleh teman-teman Teater Kaget dengan menghadirkan lokalitas. Naskah yang awalnya pull dialog tiba-tiba menjadi mini kata, hanya dengan desahan dan ratapan.
Kembali local genus ternyata memberikan keunikan tersendiri. Dalam naskah ‘Matahari Di Sebuah Jalan Kecil’, tiba-tiba imajinasi saya teringat dengan dimas kanjeng. Sebuah realitas penipuan berkedok penggandaan uang yang di bungkus dengan tradisi mistik perdukunan masyarakat. Apa yang tidak mungkin, bahwa ada realitas irrasionalitas yang bekerja dalam system masyarakat kita. Dan itu terus di produksi untuk menghasilkan materi. Pesugihan, tulul, babi ngepet misalnya. Dan saya seperti di suguhi dua pemuda yang sedang ngepet karena desakan keadaan. Terasa klop, selalu terihat hampir dalam semua naskah Arifin, absurditas manusia di hadirkan sebagai sisi paling nyata. Dan ngepet adalah pilihan paling absurd saya pikir. Begitupun ketika pertunjukan di tutup dengan si ibu yang menyalakan lilin dan di bawa ke tengah panggung, dan kemudian si babi (pemuda) bersimpuh di kaki ibu itu. Kita penonton di ajak untuk berpikir bahwa korban (ibu) pada suatu ketika kadang kala akan berpikir; “ngapain aku repot-repot bekerja, wong ada orang yang tidak usah bekerja ia hidup bahagia juga bahkan melebihi aku”.
Begitulah rekontruksi membuat peristiwa lain dari teater. Teks naskah yang semula berada dalam situasi kehidupan buruh dan pabrik menjulang, berubah ke sebuah kampung entah di belahan mana, yang jelas saya merasa dekat dengan hal tersebut. Dan begitulah teater mendekatkan yang jauh bekerja.
DIAGRAM TUBUH- BUNYI-BENDA
sejatinya sebuah pertunjukan adalah sebuah ruang kehadiran. ruang yang menampung seluruh beban pemikiran dan konsep . tema-tema di olah menjadi realitas yang baru. medan penciptaan yang di kelola dengan mempertaruhkan seluruh kenyataan hidup di baliknya. Teater bukanlah sebuah kamar tertutup, ia mempersilahkan siapa saja masuk sekedar bercakap, atau berhenti sejenak dari penat. Dengan keyakinan terus mencari dan mencari adalah pilihan. Begitulah teater memberikan peluang seluas-luasnya untuk creatifitas art di kerjakan. Mengolah sesuatu menjadi banyak bentuk. Sebab dunia adalah nama-nama bagi bentuk. Tentu saja di perlukan keterampilan dan ketajaman pisau pandangan untuk menghasilkan keunikan dan gagasan.
Sungguh aneh, bagaimana seorang creator tidak bisa menjelaskan karyanya, sementara sebuah karya adalah sebuah pencarian mendalam (pengalaman batin). Tentu ada yang tersumbat saya kira, dan proses adalah keseluruhan pergulatan batin dalam menghadapi setiap kemungkinan yang terjadi. Sehingga proses mampu membongkar ketersumbatan-ketersumbatan.
Ada beberapa persoalan yang kerap muncul, misalnya bagaimana penonton di posisikan, mengapa pertunjukan berjalan monoton, kenapa ruangnya tidak tergarap, tubuhnya masih artisan dan masih banyak lagi yang lainnya. Oleh karenanya sebuah konsep penciptan sebuah pertunjukan benar-benar menjadi sorotan. Sebab dalam politik pandangan penonton telah melakukan pennadaan-penandaan untuk sampai pada objektifitas pemaknaaan. Dan kita wajib keluar dari hal tersebut.
AKDP Surabaya dalam pertunjukan “Oh… Manseren, Tubuhku Semakin Kering”, sebuah teater tematik. Mencoba mengadirkan teater sebagai autobiografi. Sebuah biografi actor yang berasal dari papua. Menarik sebagai sebuah usaha kehadiran. Akan tetapi papua, sebagai landasan pijaknya masih goyah. Visual masih lebih pada upaya menghadirkan teaer sebagai kemapanan keindahan bentuk. Seng-seng yang di buat seperti cerobong asap, menghadirkan tanah ke atas panggung menutupi lantai keramik, rok-rok kostum para actor dengan sepatu sport tidak kuat kehadirannya. Untung di selamatkan dengan hadirnya tubuh papua (iwan papua) telanjang dengan hanya memakai koteka. Lewat tubuh papua kita di bawa masuk kedalam sebuah realitas yang sedang terjadi. Di tengah latar cerobong seng yang di set sejajar di belakang panggung, imajinasi kita di seret jauh ke dalam proses industrialisasi yang sedang terjadi besar-besaran. Sementara manusianya di biarkan terbelakang, terpinggirkan.
Pada dialog “Papua sepi” menjawab seluruh pergulatan pemikiran tentang papua saat ini. Papua yang selalu ramai dengan isu; kasus freeport, fritilin, perang suku, AIDS, dan kemiskinan, tiba-tiba sepi. Ada apa sebenarnya dengan Papua? Ini menarik di baca lebih jauh.
Namun semua itu runtuh. ‘papua sepi’ sebagai pintu negasi atas realitas papua saat itu, ketika cerita di seret pada drama. Hadirnya tubuh-tubuh lain, dengan membawa identitas yang lain. Kita seperti di paksa untuk paham dengan melakukan dramatisasi. Padahal teater bukan persoalan memahamkan. Melainkan menghidupkan kembali ingatan (memori kolektif) yang sedang terjadi. Seperti tidak mungkin tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana. Tetapi teater kita terlanjur sebagai teater yang bercerita. Sehingga plot (alur) menjadi penting. Sebab pertunjukan yang memakai konsep teror penonton, mengahdirkn bunyi seng yang berisik. Lalu bagaimana tiba-tiba menjadi sepi? Tentu dalam negasi semacam inilah gagasan teater menjadi menarik. Namun pada pertunjukan AKDP teater akhirnya seperti upaya dramatisasi kenyataan. menjelas-jelaskan kejadian. Padahal tidak semua hal harus di jelaskan, dan ini terjadi karena pelajaran teater pertama yang gagal.
Pada pertunjukan teater sendratasik unesa dengan judul “kelayung-layung”, kita di suguhi sebuah permainan tekhnik yang di bungkus dengan cerita. Mungkin karena mereka akademisi (anak-anak jurusan teater) Hampir seluruh pertunjukan di suguhi kerumitan tekhnis. Kita juga bisa melihat presisi bloking dan komposisi yang semuanya akurat. Sementara di sisi lain kita di bocorkan oleh via negativa yang sebelumnya telah di sebarkan sebagai metodologi pendekatan penciptaannya. Di sinilah pertentangan terjadi, bagaimana meode via negativa yang meruntuhkan tekhnik di hadirkan dengan tekhnik. Bagaimana dengan ruang tubuh actor?
Pertunjukan benar-benar sendiri dengan problem personalitas aktornya sendiri. Bagaimana dengan penonton? Penonton takjub dengan keahlian dan kerumitan itu selebihnya bertanya-tanya? Apalagi cerita (plot) di sisni hanyalah upaya menyambung-nyambungkan cerita. Maka pertunjukan tidak membawa pesan apa-apa.
Kami Gieart dari palu “…..” kita justru menemukan model teater yang lain, yang fresh. Sebuah teater yang keluar dari kodifikasi. Ia melepaskan diri dari konvensi dramaturgi yang sedang berkembang, apalagi komunitas teater kampus. Nama Teater yang di ganti dengan menjadi kami sebagai ganti komunitas, menunjukkan sebuah kesungguhan pencapaian yang di rujukkan pada tradisi mereka sendiri. Dan pertunjukan mereka hanyalah potongan-potongan adegan minimalis. Kata-kata modernism, kapitalisme, egosentrisme, konsumerisme, menjadi lebur ke dalam teater mereka, ke dalam tubuh mereka sendiri yang bergerak berputar. Bahkan hancur dengan pukulan di kepala mereka dengan kayu. Ia seperti menghancurkan ide yang di tanamkan di kepala mereka oleh kemajuan.
Kostum karung goni (karung beras) dalam pertunjukan kami gieart seperti sengaja di hadirkan untuk menyeret kita pada ingatan akan kolonialsme. Yang pada hakekatnya sebenarnya menjadi sumbu konflik sampai saat ini –khususnya palu-. Helm kuning proyek serta sepatu boot adalah bagian lain dari sejarah panjang kebudayaan militerisme kita. Yang seluruhnya adalah proses kolonialisasi. Dimana buruh adalah sejarah perlawanan yang.
uji coba teater dengan naskah rekontruksi garapan jembatan gantung sri widodo dengan judul  “papan teka teki”  menyuguhkan sebuah pertunjukan yang berbeda sama sekali. Dengan menghadirkan potongan papan dan balok kayu kecil kita seperti di hadapkan pada sebuah kenyataan tematik. Bahwa tema tidak harus besar, ia bisa hadir dari benda kecil tetapi memberi effek imajinatif yang besar. Begitulah papan dan balok bekerja sebagai jembatan peristiwa dalam pertunjukan papan teka-teki. Papan membuat tubuh menjadi kotak-kotak, atau papan membuat tubuh menjadi kolom-kolom dan kita mengisi nama-nama bentuk dan budaya yang ada di baliknya.
‘Ruang personal actor’ sebuah upaya membongkar realitas diri actor, dari yang paling primordial. Ini berbeda dengan personalitas teater kelayung-layung, dimana persoalan masih di luar dirinya (tekhnik). Sedang personalitas dalam uji coba teater adalah ruang pribadi yang berisi sejarah hidup aktornya. Dengan menghadirkan repetisi-repetisi tubuh sebagai penegas peristiwa tubuh actor, ruang tiba-tiba di geser se suka hati.
Kemudian pertunjukan di tutup dengan papan yang di bentuk seperti kuburan. Dan tiba-tiba actor menangis. Sungguh menangis, seperti meluapnya penyesalan dan rasa rindu, tidak tertahankan. Tubuh-tubuh (juga penonton) benar-benar larut. Lebur ke dalam kesedihan peristiwa kematian. Kematian siapa, bagaimana ia mati? Apa hubungannya dengan actor dan kita? Tidak penting. Teater telah sepenuhnya meleburnya panggung dengan penonton. Peristiwa menjadi milik kita semua. Mungkin begitulah ‘menangis’ telah meleburkan tegangan-tegangan dan kecemasan-kesemasan yang di kandung manusia (actor dan penonton). Sehingga dalam menangis nalar (teater) jatuh, dan kita bahagia.
Begitulah ‘parade teater’ penting keberadannya, sebagai ruang pertemuan (silaurahmi) dan diskusi, semoga membuka peluang teater kedepan. Menjadikan teater sebagai traumatic hilling atas kecemasan social-budaya yang tidak bertuan. Dan teater semakin melebar ke tengah masyarakat penontonnya, dengan terus menggali kemungkinan pengucapan dan capaian yang fresh dan membongkar banyak kejumudan.
Bravo teater! Tabik.
Language theatre, desember 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat dan Ketentuan Lomba Baca & Cipta Puisi "Puisi di tengah Dunia Isolasi"

LOMBA BATIK SMA/SMK SEDERAJAT SE-JAWA TIMUR

Rapat Evaluasi Tiga Bulan Sekali Bersama Senior